Oleh : Abdurrohim Al Ayubi
Nour Malinda
PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baiknya
makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Allah SWT telah ciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan (thaqatul
hayawiyah) berupa kebutuhan naluri (gharaa’iz) yang terdiri dari
naluri beragama (gharizatut tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatul
baqa) serta naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau').
Di samping itu Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya
berupa kebutuhan jasmani (Hajatul Adlawiyah) yang penampakannya
berupa rasa lapar, rasa haus, rasa kantuk, bernafas, keinginan buang hajat dan
lain-lain. Berdasarkan potensi kehidupan yang dimilikinya inilah manusia
menjalani kehidupannya di dunia.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan
ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan, maka manusia harus terlebih dahulu
mengetahui status hukum perbuatan (Al-Af'aal) serta benda (Al-Asy-yaa')
dalam rangka pemenuhan tersebut; baik atau buruk, serta apakah mendatangkan
manfaat atau memberikan mudharat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu
manusia harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status
hukum baik atau buruk terhadap perbuatan manusia serta status baik dan buruk
terhadap benda-benda yang digunakan dalam menjalankan aktivitasnya. Selain itu,
juga harus diketahui kepada hukum siapakah manusia wajib terikat.
Dalam kehidupan sehari
hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah.
Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang
berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun
yang terkait) dengan hukum wad’I (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah
dan rukhsoh).untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih
disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib
dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang
di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan
masing-masing
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Hakim (Sang Pembuat Hukum)
yang paling penting yang berkaitan dengan
hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan
tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu,
karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan
tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah
pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas
hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas
untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu.[1]
Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori
sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia.
Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta
ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan
berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas
perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Di antara
masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam,
ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim)
itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap
hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini
bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini adalah
siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas
benda-benda (Al-Asy-yaa').
OIeh karena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang
baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan
memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada
pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui
mukallaf dengan perantaraan syara'.[2]
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara'
tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan
Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at dipandang baik oleh akal
dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik
perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah
tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung
pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur
berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang
syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
B. AL-MAHKUM FIH
Mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
syari’.
Firman Allah SWT :
ياا يها
اللذين امنوا اوفوا بالعقود.{الما ئدة :1}
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji) itu.”(Q.S. Al-Maidah :1)
Hukum wajib (iejab) yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan
salah satu perbuatan mukallaf, yaitu memunuhi janji. Memenuhi janji ini lalu
dijadikan wajib
Firman allah swt :
يا ايها
الذين اًمنوا اٍذا تداينتم بدين اٍلي اًجل مسمي فاكتبوه {البقرة :282 }
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dengan waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Q.S.
Al-Baqarah:282)
Hukum sunat (nadb) yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan
salah satu perbuatan mukallaf, yaitu mencatat (menulis) hutang. Mencatat hutang
ini lalu dijadikan sunat.
Firman allah swt :
ولا تقتلوا
النفس.{الانعام:151}
“Dan janganlah kamu membunuh
jiwa”. (Q.S. Al-An’am:151)
Hukum haram (tahrim) yang diambil dari kitab ini berhubungan dengan
salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa. tahrim ini menjadikan
“pembunuhan jiwa” itu haram.
Firman allah swt :
ولا تيمموا
الخبييث منه تنفقون {البقرة:267}
“dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
dari pada nya “. (Q.S. Al-Baqarah:267)
Hukum karohah yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan salah
satu perbuatan mukallaf, yaitu menginfakkan harta yang rusak atau jelek.
Karohah ini menjadikan pengeluaran infak seperti makruh.
Firman allah swt :
فمن كان منكم
مريضا اًو علي سفر فعدة من ايام اًخر {البقرة :184}
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalan (lalu
ia berbuka), wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang di tinggal kan itu
pada hari-hari yang lain”. (Q.S.
Al-Baqarah:184)
Khitab
ini berhubungan dengan sakit atau berpergian , dan ia menjadikan keduanya hukum
yang memboleh kan (mubah) untuk berbuka.
Jadi
setiap hukum itu diantara hukum syari’ pasti berhubungan dengan salah satu
perbuatan mukallaf baik dari segi tuntutan (tholab), perintah untuk memilih
(takhyir), atau ketetapan (wadh’u).[3]
Diantara hal yang telah ditetapkan ialah bahwa tidak terdapat tuntutan kecuali dengan
perbuatan. Artinya bahwa hukum syari’ yang bersifat tuntutan itu tidak
berhubungan kecuali dengan mukallaf. Apabila hukum syari’itu berbentuk iejab
atau nadb, maka persoalannya jelas.
Karna hubungan iejab itu adalah perbuatan wajib atas jalan yang pasti, sedang
hubungan nadb adalah perbuatan sunnah tidak atas jalan yang pasti dan tetap.
Maka tuntutan dalam dua keadaan itu (iejab dan nadb) adalah dengan perbuatan.
Jika
hukum syari’ itu berupa tahrim atau karohah, maka yang di tuntut hukum syari’
dalam dua keadaan itu adalah perbuatan juga. karena perbuatan itu ialah menahan
nafsu dari perbuatan haram atau makruh. Maka penegrtia ulama bahwa tidak ada
tuntutan kecuali dengan perbuatan,adalah perbuatan yang meliputi menahan hawa
nafsu,artinya mencegah nafsu untuk perbuat. Dengan demikian semua peritah atau
larangan adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Dalam perintah,yang dituntut
adalah yang diperintahkan. Sedangkan dalam larangan adalah,yang di tuntut
menahan yang di larang.[4]
Syarat Sahnya
Penaklifan Perbuatan
Pada
perbuatan yang sah untuk dikenakan taklif menurut syara’ di syaratkan tiga
syarat, yaitu :
Pertama
: perbuatan itu haruslah diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang
sempurna, sehingga mukallaf tersebut mampuuntuk melaksanakannya sebagaimana ia
dituntut.
Berdasarkan
hal ini, maka nash-nash Al-Qur’an yang mujmal, maksudnya yang blum dijelaskan
maksudnya, tidak sah mentaklifkannya pada mukallaf, kecuali sesudah pnjelasan
Rosulullah Saw:
واقيمو اا لصٌللاة
Artinya :
“...dan dirikanlah shalat...”
Nash Al-Qur’an itu
belum menjelaskan rukun- rukun shalat, syarat, dan tata cara pelaksanaanya.
Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui rukun-rukunnya, syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaannya di taklif untuk mengerjakan shalat? Rosulullah Saw telash
menjelaskan kemujmalan nash dalam Al-Qur’an dengan sunnahnya yang bersifat
ucapan dan perbuatan. Para ‘ulama pun sepakat tidak boleh mentakhirkan
penjelasan menurut waktu yang diperlukan.
Kedua
: diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaanmenuntut,
atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf. Karena dengan
pengetahuan ini tertujulah keinginannya untuk mengikutinya. Dan inilah
satu-satunya sebab hanya permulaan pembahasan mengenai setiap dalil syara’
adalah kehujjahannya atas orang-orang mukallaf. Artinya bahwa hukum-hukum yang
menunjukan makna hukum wajib atas mukallaf adalah pelaksanaannya.
Ketiga
: perbuatan yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin (bisa dilakukan).
Atau ada kemampuan mukallaf untuk mengerjakannya, dari syarat ini bercabanglah
dua hal :
1.
Menurut
sayara’ tidak sah membebani hal ayng mustahil (yang tidak mungkin bisa
dilakukan. Baik mustahil itu datang dari dirinya, atau karena sesuatu yang
lain. Mustahil yang datang dari dirinya, artinya yang mustahil menurut akal,
seperti mengumpulakn dua hal yang berlawanan.
2.
Mnurut
syara’ tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau
mencegahnya. Karena melakukan atau meninggalkan oleh selain diaitu adalah
berarti bukan hal yang mungkin (dikuasai) bagi dia. Atas dasar ini seseorang
tidak dituntut agar bapaknya mengeluarkan zakat untuknya, atau saudaranya
melakukan shalat untuknya, atau tetangganya mencegah pencurian. Segala sesuatu
yang seseorang dituntut dengan itu, yang berupa kekhususan bagi lainnya adalah
termasuk nasihat, perintah kebaikan, dan larangan melakukan yang mungkar. Ini
adalah termasuk perbuatan yang dikuasai (dapat dilaksanakan) olehnya.[5]
C. AL-MAHKUM ALAIH
Al-mahkum ‘Alaih ialah seorang
mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’
Dalam syara’ sahnya memberi beban
kepada mukallf, disyaratkan dua hal :
Pertama : sang mukallaf harus dapat
memahami dalil taklif (pembebanan), sebagaiman ia mampu memahami berbagai nash
perundang-undangan yang ditaklifkan padanya dalam Al-Qur’an dan sunah, baik
dengan sendirinya atau dengan perantaran. Karena sesungguhnya orang yang tidak
sanggup memahami dalil pentaklifan padany, dan tidak bisa pulamengarahkan
maksudnya kepadanya.
Kedua : mukallf haruslah layak untuk
dikenakan taklif. Ahliyyah, maknanya dalam bahasa arab ialah : kelayakan.
Dikatakan si fulan ahli untuk mengawati terhadap pewakaf, artinya layak
untuknya.
Adapun ahliyyah menurut istilah
ulama ushul fiqh, maka ahliyyah terbagi
kepada dua bagian, yaitu :
1.
Ahliyyah
Wujub
2.
Ahliyyah
Ada’
Ahliyyah Wujub ialah : kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan
padanya hak dan kewajiban.
Asasnya ialah : kekhusuan
yang diciptakan Allah kepada manusia, dan kekhusuan tersebut ia patut untuk
memperoleh ketetapan hak dan kewajiban yang wajib atas dirinya. Kekhusuan ini
oleh fuqaha disebut dzimmah (tanggungan)
A.
Keadaan manusia dalam kaitannya dengan Ahliyyatul Wujub
Manusia
ditinjau dari hubungannya dengan Ahliyyatul Wujub mempunyai dua keadaan saja,
yaitu :
1.
Terkadang
ia mempunyai Ahliyyatul Wujub yang kurang, yaitu apabilaia layak untuk
memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun
sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut
ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak
atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang
lain. Dengan demikian, Ahliyyatul Wujubnya dalah kurang.
2.
Ada
kalanya ia mempunyai Ahliyyatul Wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk
memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul Wujub ini
tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia
menjelang balighnya (mumayyiz). Dan setelah itu baligh. Dalam keadaan
apapun ia berbedapada periode dari perkembangn kehidupannya, ia mempunyai
Ahliyyatul Wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada
seseorang manusia pun yang tidak mempunyai Ahliyyatul Wujub.
B.
Keadaan manusia dalam kaitannya dengan Ahliyyatul Ada’
Manusia
ditinjau dari hubungannya dengan Ahliyyatul Ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu
:
1.
Terkadang
ia sama sekali tidak mempunyai Ahliyyatul Ada’, atau sama sekali sepi dari
padanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia
berapapun.
2.
Ada
kalanya ia adalah kurang Ahliyyatul Ada’nya. Yaitu orang telah pintar tapi
belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai
membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh dan berkenaan pula pada orang
yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya
adalah orang yang cacat akalnya, ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna
akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak kecill yang mumayiz.
3.
Ada
kalanya ia mempunyai Ahliyyatul Ada’ yang sempurna, yaitu orang telah mencapai
akil baligh. Ahliyyatul Ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia
dalam keadaan berakal
C.
Beberapa Pengahalang Ahliyyah
1.
Pengahalng
samawi, yang itdak ada usaha manusia dan ikhtiarnya padanya, seperti gila, agak
kurang waras akalnya, dan lupa
2.
Penghalang
kasbi, yaitu yang terjadikarena usaha dan ikhtiar manusia, seperti mabuk, bodoh
dan hutang.
Beberapa pengahalang yang menghalangi Ahliyyatul Ada’ ini, di
antaranya ada yang menghalangi manusia, kemudian menghilangkan Ahliyyatul
Ada’nya sama sekali, seperti gila, tidur, dan pingsan. Orang gila, orang tidur,
orang yang pingsan, masing-masing dari mereka tidak mempunyai Ahliyyatul Ada’
sama sekali, sedangkan sesuatu yang wajib atas orang gila adalah dalam kaitannya
dengan Ahliyyah Wujubnya, berupa kewajiban keharta-bendaan maupun bersifat
badani, yang harus ditunaikan oleh masing-masing dari keduanya sesudah ia sadar
atau waras.[6]
BAB III
PENUTUP
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan
dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya
dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf
mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia
seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi
masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia
tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk
bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah,
karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya.Mukallaf yang
telah mampu mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan
taklif.
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuatannya dikenai
hukum-hukum syari’at. Mukallaf ialah seorang manusia yang memiliki akal serta
faham akan ketentuan Allah Swt yang mana katentuan perbuatannya ditentukan
syari’at dari segi hukumnya. Hukum taklif itu berarti pembebanan terhadap
mukallaf denagn menuntut sebuah perbuatan darinya yang mana ia memiliki 5 jenis
hukum yaitu : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Definisi Ahliyyah adalah
kepatutan seseorang memiliki beberapahak dan melakukan kewajiban. Dan juga
Ahliyyah adalah sifatyang menunjukan seseorang telah sempurna jasmani dan
akalnya. Sehingga segala tindakannya dapat di nilai sebagai syara’.
DAFTAR PUSTAKA
3.
Wahab khalaf,
Abdul. 1997, Ilmu Ushulul Fiqh, gema risalah pres. Bandung
4.
Wahab khalaf,
Abdul.1994, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama. Semarang
5.
Wahab khalaf,
Abdul. 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta
[1]
http://fadhliyafas.blogspot.com/2008/04/memahami-ushul-fiqh-al-hakim.html
[2]
http://www.cybermq.com/pustaka/detail/doa/123/
[3]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khakaf. Ilmu Ushulul Fiqh, hal:217
[4]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khakaf. Ilmu Ushulul Fiqh, hal:219
[5]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf. Kaidah-kaidah hukum islam, hal:197
[6]
Diterjemahi: Dr. K.H. Noer Iskandar, Ilmu Ushul Fiqh. Hal : 202
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !