Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih - Manuskrip University
Headlines News :

Misteri

National
Home » » Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih

Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih

Written By Unknown on Kamis, 12 April 2012 | 05.19


Oleh :  Abdurrohim Al Ayubi
           Nour Malinda


BAB I
PENDAHULUAN

 Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai sebaik-baiknya makhluk dengan memberikan akal yang mampu membedakan baik dan buruk. Allah SWT telah ciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) berupa kebutuhan naluri (gharaa’iz) yang terdiri dari naluri beragama (gharizatut tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa) serta naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau').  Di samping itu Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya berupa kebutuhan jasmani  (Hajatul Adlawiyah) yang penampakannya berupa rasa lapar, rasa haus, rasa kantuk, bernafas, keinginan buang hajat dan lain-lain. Berdasarkan potensi kehidupan yang dimilikinya inilah manusia menjalani kehidupannya di dunia.
            Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan, maka manusia harus terlebih dahulu mengetahui status hukum perbuatan (Al-Af'aal) serta benda (Al-Asy-yaa') dalam rangka pemenuhan tersebut; baik atau buruk, serta apakah mendatangkan manfaat atau memberikan mudharat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu manusia harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum baik atau buruk terhadap perbuatan manusia serta status baik dan buruk terhadap benda-benda yang digunakan dalam menjalankan aktivitasnya. Selain itu, juga harus diketahui kepada hukum siapakah manusia wajib terikat.
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum wad’I (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Al-Hakim (Sang Pembuat Hukum)
 yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu.[1] Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini adalah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
OIeh karena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.[2]
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.

B. AL-MAHKUM FIH
Mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’.
Firman Allah SWT :
                                                            ياا يها اللذين امنوا اوفوا بالعقود.{الما ئدة :1}
 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji) itu.”(Q.S. Al-Maidah :1)
Hukum wajib (iejab) yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu memunuhi janji. Memenuhi janji ini lalu dijadikan wajib
 Firman allah swt :
يا ايها الذين اًمنوا اٍذا تداينتم بدين اٍلي اًجل مسمي فاكتبوه {البقرة :282 }
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai dengan waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(Q.S. Al-Baqarah:282)
Hukum sunat (nadb) yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu mencatat (menulis) hutang. Mencatat hutang ini lalu dijadikan sunat.
Firman allah swt :
                                                                        ولا تقتلوا النفس.{الانعام:151}
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa”. (Q.S. Al-An’am:151)
Hukum haram (tahrim) yang diambil dari kitab ini berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa. tahrim ini menjadikan “pembunuhan jiwa” itu haram.
Firman allah swt :
                                                            ولا تيمموا الخبييث منه تنفقون {البقرة:267}
“dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari pada nya “. (Q.S. Al-Baqarah:267)
Hukum karohah yang diambil dari khitab ini berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu menginfakkan harta yang rusak atau jelek. Karohah ini menjadikan pengeluaran infak seperti makruh.
Firman allah swt :
فمن كان منكم مريضا  اًو علي سفر فعدة من ايام  اًخر {البقرة :184}
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalan (lalu ia berbuka), wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang di tinggal kan itu pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al-Baqarah:184)
Khitab ini berhubungan dengan sakit atau berpergian , dan ia menjadikan keduanya hukum yang memboleh kan (mubah) untuk berbuka.
Jadi setiap hukum itu diantara hukum syari’ pasti berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf baik dari segi tuntutan (tholab), perintah untuk memilih (takhyir), atau ketetapan (wadh’u).[3]
Diantara hal yang telah ditetapkan ialah bahwa  tidak terdapat tuntutan kecuali dengan perbuatan. Artinya bahwa hukum syari’ yang bersifat tuntutan itu tidak berhubungan kecuali dengan mukallaf. Apabila hukum syari’itu berbentuk iejab atau nadb,  maka persoalannya jelas. Karna hubungan iejab itu adalah perbuatan wajib atas jalan yang pasti, sedang hubungan nadb adalah perbuatan sunnah tidak atas jalan yang pasti dan tetap. Maka tuntutan dalam dua keadaan itu (iejab dan nadb) adalah dengan perbuatan.
Jika hukum syari’ itu berupa tahrim atau karohah, maka yang di tuntut hukum syari’ dalam dua keadaan itu adalah perbuatan juga. karena perbuatan itu ialah menahan nafsu dari perbuatan haram atau makruh. Maka penegrtia ulama bahwa tidak ada tuntutan kecuali dengan perbuatan,adalah perbuatan yang meliputi menahan hawa nafsu,artinya mencegah nafsu untuk perbuat. Dengan demikian semua peritah atau larangan adalah berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Dalam perintah,yang dituntut adalah yang diperintahkan. Sedangkan dalam larangan adalah,yang di tuntut menahan yang di larang.[4]

Syarat Sahnya Penaklifan Perbuatan
Pada perbuatan yang sah untuk dikenakan taklif menurut syara’ di syaratkan tiga syarat, yaitu :
Pertama : perbuatan itu haruslah diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang sempurna, sehingga mukallaf tersebut mampuuntuk melaksanakannya sebagaimana ia dituntut.
Berdasarkan hal ini, maka nash-nash Al-Qur’an yang mujmal, maksudnya yang blum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya pada mukallaf, kecuali sesudah pnjelasan Rosulullah Saw:
                                                                                      واقيمو اا لصٌللاة
Artinya :
“...dan dirikanlah shalat...”
Nash Al-Qur’an itu belum menjelaskan rukun- rukun shalat, syarat, dan tata cara pelaksanaanya. Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui rukun-rukunnya, syarat-syarat dan tata cara pelaksanaannya di taklif untuk mengerjakan shalat? Rosulullah Saw telash menjelaskan kemujmalan nash dalam Al-Qur’an dengan sunnahnya yang bersifat ucapan dan perbuatan. Para ‘ulama pun sepakat tidak boleh mentakhirkan penjelasan menurut waktu yang diperlukan.
Kedua : diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaanmenuntut, atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini tertujulah keinginannya untuk mengikutinya. Dan inilah satu-satunya sebab hanya permulaan pembahasan mengenai setiap dalil syara’ adalah kehujjahannya atas orang-orang mukallaf. Artinya bahwa hukum-hukum yang menunjukan makna hukum wajib atas mukallaf adalah pelaksanaannya.
Ketiga : perbuatan yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin (bisa dilakukan). Atau ada kemampuan mukallaf untuk mengerjakannya, dari syarat ini bercabanglah dua hal :
1.      Menurut sayara’ tidak sah membebani hal ayng mustahil (yang tidak mungkin bisa dilakukan. Baik mustahil itu datang dari dirinya, atau karena sesuatu yang lain. Mustahil yang datang dari dirinya, artinya yang mustahil menurut akal, seperti mengumpulakn dua hal yang berlawanan.
2.      Mnurut syara’ tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau mencegahnya. Karena melakukan atau meninggalkan oleh selain diaitu adalah berarti bukan hal yang mungkin (dikuasai) bagi dia. Atas dasar ini seseorang tidak dituntut agar bapaknya mengeluarkan zakat untuknya, atau saudaranya melakukan shalat untuknya, atau tetangganya mencegah pencurian. Segala sesuatu yang seseorang dituntut dengan itu, yang berupa kekhususan bagi lainnya adalah termasuk nasihat, perintah kebaikan, dan larangan melakukan yang mungkar. Ini adalah termasuk perbuatan yang dikuasai (dapat dilaksanakan) olehnya.[5]
C. AL-MAHKUM ALAIH
Al-mahkum ‘Alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’
Dalam syara’ sahnya memberi beban kepada mukallf, disyaratkan dua hal :
Pertama : sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan), sebagaiman ia mampu memahami berbagai nash perundang-undangan yang ditaklifkan padanya dalam Al-Qur’an dan sunah, baik dengan sendirinya atau dengan perantaran. Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami dalil pentaklifan padany, dan tidak bisa pulamengarahkan maksudnya kepadanya.
Kedua : mukallf haruslah layak untuk dikenakan taklif. Ahliyyah, maknanya dalam bahasa arab ialah : kelayakan. Dikatakan si fulan ahli untuk mengawati terhadap pewakaf, artinya layak untuknya.
Adapun ahliyyah menurut istilah ulama ushul fiqh,  maka ahliyyah terbagi kepada dua bagian, yaitu :
1.      Ahliyyah Wujub
2.      Ahliyyah Ada’
Ahliyyah Wujub ialah : kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban.
Asasnya ialah  : kekhusuan yang diciptakan Allah kepada manusia, dan kekhusuan tersebut ia patut untuk memperoleh ketetapan hak dan kewajiban yang wajib atas dirinya. Kekhusuan ini oleh fuqaha disebut  dzimmah (tanggungan)

A.    Keadaan manusia dalam kaitannya dengan Ahliyyatul Wujub
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan   Ahliyyatul Wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu :
1.      Terkadang ia mempunyai Ahliyyatul Wujub yang kurang, yaitu apabilaia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, Ahliyyatul Wujubnya dalah kurang.
2.      Ada kalanya ia mempunyai Ahliyyatul Wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul Wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz). Dan setelah itu baligh. Dalam keadaan apapun ia berbedapada periode dari perkembangn kehidupannya, ia mempunyai Ahliyyatul Wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seseorang manusia pun yang tidak mempunyai Ahliyyatul Wujub.
B.     Keadaan manusia dalam kaitannya dengan Ahliyyatul Ada’
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan Ahliyyatul Ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu :
1.      Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai Ahliyyatul Ada’, atau sama sekali sepi dari padanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun.
2.      Ada kalanya ia adalah kurang Ahliyyatul Ada’nya. Yaitu orang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak kecill yang mumayiz.
3.      Ada kalanya ia mempunyai Ahliyyatul Ada’ yang sempurna, yaitu orang telah mencapai akil baligh. Ahliyyatul Ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal
C.    Beberapa Pengahalang Ahliyyah
1.      Pengahalng samawi, yang itdak ada usaha manusia dan ikhtiarnya padanya, seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa
2.      Penghalang kasbi, yaitu yang terjadikarena usaha dan ikhtiar manusia, seperti mabuk, bodoh dan hutang.
Beberapa pengahalang yang menghalangi Ahliyyatul Ada’ ini, di antaranya ada yang menghalangi manusia, kemudian menghilangkan Ahliyyatul Ada’nya sama sekali, seperti gila, tidur, dan pingsan. Orang gila, orang tidur, orang yang pingsan, masing-masing dari mereka tidak mempunyai Ahliyyatul Ada’ sama sekali, sedangkan sesuatu yang wajib atas orang gila adalah dalam kaitannya dengan Ahliyyah Wujubnya, berupa kewajiban keharta-bendaan maupun bersifat badani, yang harus ditunaikan oleh masing-masing dari keduanya sesudah ia sadar atau waras.[6]


BAB III
PENUTUP

Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan taklif.
Mahkum ‘alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuatannya dikenai hukum-hukum syari’at. Mukallaf ialah seorang manusia yang memiliki akal serta faham akan ketentuan Allah Swt yang mana katentuan perbuatannya ditentukan syari’at dari segi hukumnya. Hukum taklif itu berarti pembebanan terhadap mukallaf denagn menuntut sebuah perbuatan darinya yang mana ia memiliki 5 jenis hukum yaitu : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Definisi Ahliyyah adalah kepatutan seseorang memiliki beberapahak dan melakukan kewajiban. Dan juga Ahliyyah adalah sifatyang menunjukan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya. Sehingga segala tindakannya dapat di nilai sebagai syara’.


DAFTAR PUSTAKA
3.      Wahab khalaf, Abdul. 1997, Ilmu Ushulul Fiqh, gema risalah pres. Bandung
4.      Wahab khalaf, Abdul.1994, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama. Semarang
5.      Wahab khalaf, Abdul. 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta


[1] http://fadhliyafas.blogspot.com/2008/04/memahami-ushul-fiqh-al-hakim.html
[2] http://www.cybermq.com/pustaka/detail/doa/123/
[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khakaf. Ilmu Ushulul Fiqh, hal:217
[4] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khakaf. Ilmu Ushulul Fiqh, hal:219
[5] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf. Kaidah-kaidah hukum islam, hal:197
[6] Diterjemahi: Dr. K.H. Noer Iskandar, Ilmu Ushul Fiqh. Hal : 202




Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Manuskrip University - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger