Mamluk
berasal dari bahasa Arab yang berarti budak. Dinasti ini memang
didirikan oleh budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang
ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian di didik
dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada klompok tersendiri
yang terpisah oleh masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir,
Al-Malik Al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan
kekuasaanya. Pada masa kekusaan ini, mereka mendapat hak-hak istimewah,
baik dalam karir ketentaraan maupun dalam imbalan material. Pada
umumnya mereka berasal daerah Kaukasus dan laut Kaspia. Di mesir, merka
ditempatkan di pulau Raudhoh di sungai nil untuk menjalani latihan
meliter dan keagamaan. Karena itulah mereka di kenal dengan julukan
Mamluk Bahri. Saingan mereka dalam ketentaraan adalah tentara yang
berasal dari suku kurdi. Ketka Al-malik Al solih meninggal (1249 M),
anaknya Turansyah naik tahta, sebagai sultan. Golongan Mamalik merasa
terancam karena Turansyah lebih dekat ketentara asal Kurdi dari pada
mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik dibawah pimpinan Aybak dan Baybars
berhasil membunuh Turansyah. Istrinya Al-Malik Al-Salih, Syajarah
Al-Durr, seseorang yang juga berasal dari kalanagan Mamalik verusaha
mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan
Mamalik. Kepemimpinan Syajaruh Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan.
Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan
menyerahkan tampuk kepemimpinanya kepadanya sambil berharap dapat terus
berkuasa dibelakang tabir.akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh
Syajarah Al- Durr mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada
mulanya, Aybak mengangkat seseorang keturunan Ayyubiyah bernama Musa
sebagai sulatan “syar’i” disamping diring sebagai penguasa yang
sebenarnya. Namun, Musa akhirnya di bunuh oleh Aybak. Ini merupakan
akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti
Mamalik.[1]
Aybak
berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). setelah meninggal ia
digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudia
mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz.
Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan ke Syiria, karena
tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali kemesir. Di awal tahun
1260 M, Mesir terancam serangan bangsa mongol yang sudah berhasil
menduduki hampir suluh dunia islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut
dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik dibawah pimpinan
Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan mongol tersebut,
kemenangan atas tentara mongol ini membuat kekusaan Mamalik di Mesir
menjadi tumpuan harapan ummat islam disekitarnya. Penguasa-panguasa di
Syiria segera menyatakan setia kepada panguasa Mamalik.[2]
Tidak
lama setelah itu, Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin
militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukanya menajdi sulatan
(1260 – 1277 M) . Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara 47
sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti
Mamalik. Sultan-sulatn inilah yang meninggalkan jejek besar dalam
sejara islam di Mesir.[3]
Mesir
terhindar dari kehancuran, setelah berhasil mengalahkan serangan bangsa
Mongol (1260 M), maka kesinambungan pradaban pada masa klasik tetap
terlihat sehingga prestasi yang pernah dicapai masa klasik tetap
bertahan di Mesir walaupun kemajuan yang di capai Mesir masih dibawah
prestasi yang pernah dicapai ummat islam masa klasik. Hal ini mungkin
karena metode berfikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak
berkembangnya ailran teologi Asy’ariyah; filsafat dapat kecaman sejak
pemikiran Al Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas ummat islam. Juga
karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak memberi
inspirasi kepusat-pusat pradaban islam, hancur oleh serbuan Hulago. [4]
Sultan
Baybers mengadakan berbagai pembangunan di Mesir, Palestina, dan Syria,
yang sebelumnya berhasil mengepung kota Okka hingga pimpinan tentara
Salib Perancis, Edward of England, pada tahun 1272 M meminta gencatan
senjata 10 tahun dengan kesediaan membayar upeti tahunan ke Mesir. Ada
dua tradisi yang tercipta pada masa Baybers. Pertama, mempersiapkan
kiswah untuk baitullah di Makkah al-Mukarromah dan diantar dengan
upacara setiap musim haji. Kedua, menempatkan empat imam pada keempat
penjuru Baitullah.[5]
Sultan
Qolawun melanjutkan kepemimpinan Sultan Baybers, mendirikan bangunan
yang masih dikagumi hingga sekarang baik bangunan keagamaan maupun
bangunan sosial. Ia pun mampu menghancurkan serangan bangsa Mongol yang
di pimpin oleh Abaga Khan (anak Hulago), dan juga mengakhiri kekuasaan
Salibiyah yang sudah berjalan selama dua abad. Satu-satunya kota yang
mampu mempertahankan diri adalah Bandar Okka. Ditangan anaknya, Sultan
Asyrof Shilahuddin Khalil (1290-1923), benteng Kota Okka berhasil
dikuasai. Sejak itullah kekuasaan Barat berakhir berabad-abad lamanya,
hingga Perang Dunia I (1914-1918 M) Mesir dan Palestina jatuh ketangan
kekuasaan Inggris dan Lebanon jatuh ketangan kekuasaan Perancis.
Keturunan terakhir mamalik Bahriyah adalah Haji as-Shalih Zaenuddin bin
Asyraf Sya’ban berusia enam tahun. Maka diangkatlah sebagai pemangku
raja al-Malik az-Zahir saefuddin Barquq, semenjak itu mulailah dinasti
mamalik Jarakesah (Mamluk Barji).[6]
Barquq
Sultan kuat. Ia berhasil mengalahkan Timur Lenk, keturunan Hulago. Ia
bercita-cita menjadi raja terbesar maka segera mengalahkan raja-raja
lain keturunan Hulagodi wilayah Balkh, Transoxiana, Jata, Khawarizm, dan
daerah-daerah lain yang pernah dikuasai Jenghis Khan. Ia juga berambisi
menguasai Khurasan, Afghanistan, Persi, Fars, dan Kurdistan,
dilanjutkan ke Irak, Syiria, dan Anatolia (Turki). Dinasti Mamluk
membawa metode baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintah dinasti ini
bersifat oligarki militer. Oleh Karena itu para pemimpin militer
berlomba dalam berprestasi, berjasa terhadap Negara, serta mencari
simpati dinasti kecil sekitar, agar dapat diangkat menjadi sultan.
Dengan demikian, maka metode ini membawa kemajuan dalam berbagai bidang.
Dalam bidang pemerintahan , kemenangan terhadap Mongol di Ayn Jalut
membuat daerah sekitar meminta perlindungan dan menyatakan kesetiaan,
sehingga wilayah dinasti ini bertambah luas. Dinasti ini pun berhasil
mempetahankan khillafah Abbasiah, setelah dihancurkan Hulago di Baghdad,
dengan kairo sebagai pusatnya. Mengalahkan tentara Salib, menghancurkan
kelompok Assasin di pegunungan Syria, melumpuhkan Cyrenia (tempat
kekuasaan orang-orang Armenia), dan menghancurkan kapal-kapal bangsa
Mongol di Anatolia. Dalam bidang ekonomi, membuka hubungan dagang dengan
Perancis dan Italia, dengan Kairo sebagai jalur perdagangan antar
Asia-Eropa dan Laut Merah-Laut Tengah. Disamping itu hasil pertanian
juga meningkat. Keberhasilan ini diduukung oleh pembangunan jaringan
transportasi dan komunikasi antar kota baik laut maupun darat, dan juga
Ketangguhan Angkatan Laut dinasti Mamluk. Dalam bidang pengetahuan,
Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad. Disamping
itu Mesir dengan perguruan tinggi Al-Azhar serta perpustakaan Darul
Hikmah yang juga selamat dari serangn bangsa Mongol menyebabkan
kesinambungan ilmu zaman klasik tetap berkembang di Mesir. Mesir
meenjadi pusat peradaban Islam yang berintikan kebudayaan Arab.[7]
Ilmuwan-ilmuwan besar yang lahir pada zaman Mamluk diantaranya Ibn Nafis yang digelari The Second Avisenna
(Ibn Sinna Kedua) oleh pengagumnya, karena reputasinya sebagai seorang
dokter yang terkemuka dan seorang penulis serba bisa pada abad VII
H/XIII M. diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Ibn al-Kuh,
penulis Sebuah buku tentang ilmu bedah. Abu Hayyan al Gharnati, Nahhas
seorang ahli psikologi. Ketika meninggal Ibn Nafis mewariskan rumah,
kekayaan, dan buku-buku kepada rumah sakit Mansuri di Kairo. Diantara
karya-karyanya yang besar adalah:[8]
1. Kitab as-Syamil fi at-Thibb
2. Kitab al-Muhadzdzab fi al-Kuhl
3. Mujiz al-Qonun
4. Komentar terhadap buku Masail fi at Thibb karya Hunain ibn Ishak
5. Komentarnya secara lebih luas terhadap Qonunnya Ibn Sina
Dari sekian banyak karyanya itu, teorinya the lesser or pulmonary circulation of the blood
tercatat sebagai prestasi paling penting dalam lapangan kedokteran.
Teorinya mendahului penemuan fundamental William Harvey sehingga tidak
berlebihan bila George Sarton menyebutnya sebagai ahli fisiologi
terbesar pada abad pertengahan.
Ilmuwan lain pada zaman Mamluk adalah Abu Fida, seorang ahli geografi dan sejarah. Karya-karya yang pernah ia susun adalah:[9]
1. Mukhtasir Tarikh al-Basar
2. Takwin al-Buldan
Karya
Abu Fida pernah diedit oleh J.T. Reinand dan Mac Guckin de Slane
(terbit di Paris 1840 M) dan diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh
J.T. Reinand (Paris 1848 M). dengan karya ini Abu Fida disebut dengan The Greatest Geographer of His Age.
Ilmuwan
yang setaraf dengan Ibn Taimiyah iallah Ibn Khaldun yang lahir di
Tunisia 702 H/1332 M. seorang ahli Filsafat. Ia telah mengarang dan
menyusun suatu “filsafat sejarah” terbesar yang pernah diciptakan
manusia dari Negara atau bangsa manapun.tidak banyak buku yang
dikarangnya, tetapi buku-buku tersebut telah membukakan jalan baru bagi
dunia pengetahuan dan kebudayaan. Dalam mengemukakan pikirannya, ia
lebih tertuju pada permasalahan sosial. Ibn Kholdun berpendapat bahwa
ilmu sejarah dan sosiologi adalah dua ilmu yang berasal sama.
Mempelajari sosiologi adalah penting sebagai pengantar kepada kajian
tentang sejarah. Sejarah harus diterangkan berdasarkan bukti empiris,
menurut hasil observasi dan penelitian yang dilaksanakan secara
obyektif. Pada tahun 1375 ia menetap di Qol’at Ibn Salamah dekat Oran
selama empat tahun penuh ia menulis kitabnya Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta. Ia menciptakan ilmu baru “ilmu sosiologi”, mungkin karena ia memiliki perjalanan hidup yang panjang dan berliku-liku.[10]
Pada abad XIV H di Spanyol timbul wabah penyakit yang disebut mati hitam (black death).
Wabah ini sering dikaitkan sebagai hukuman Tuhan baik oleh pemuka
Kristen maupun pemuka Islam. Disinilah dokter-dokter Islam berjuang
keras menghilangkan tahayul dengan memberikan petunjuk cara memberantas
penyakit berdasarkan ilmu kesehatan. Penyakit ini berjangkit keseluruh
Eropa karena kotoran daki dan kurang mandi. Dari sinilah Eropa mengenal
sabun. Sampai sekarang Eropa memakai bahasa arab untuk sabun (soap) yang dikirimkan rumah sakit-rumah sakit islam keberbagai negeri Eropa ketika penyakit hitam itu menular.[11]
Diantara
dokter-dokter yang muncul pada waktu itu adalah Ibn al-Khatib di
Granada tahun 1313-1374 M. ia mengarang buku tentang penyakit menular
dan bahaya epidemic. Semenjak penyakit tersebut disebarkan penerangan How to be Health,
guna menghindari penyakit menular. Dokter yang besar juga jasanya dalam
wabah black death di Eropa bernama Ibn Khatima wafat tahun 1369, yang
juga mengarang buku tentang penyakit menular, bahkan bukunya dipandang
terbaik. Adapun penyakit menular, sebagai yang diterangkan oleh Ibn
Khatima, belum ada dalam buku kedokteran Yunani, belum terdapat cara
memberantas penyakit menular. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
semenjak abad pertengahan kedokteran Islam berdiri sendiri tidak lagi
tergantung kepada pengobatan Yunani.[12]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !