Oleh
: Awang Daelami
(Oposisi General)
Di
era kekinian, pendidikan menjadi salahsatu kebutuhan primer bagi manusia. Bagaimana
tidak, seiring dengan menjamurnya era modernisasi, manusia dituntut mampu
bersaing sebagai wujud eksistensi mereka. Oleh karena itu, kini, pendidikan
hadir sebagai instrumen terpenting dalam menjawab tantangan zaman yang kian
kompetitif.
Semua
berjalan secara alamiah. Rasanya, ungkapan tersebut sangat cocok untuk
menggambarkan dinamika saat ini. Tentu, kita semua tahu, pendidikan merupakan
sebuah sistem yang membentuk kita menjadi pribadi berkualitas, baik secara
intelegensia maupun moral. Sehingga, secara alamiah, mereka yang berpendidikan
akan mampu bertahan dan tampil menjadi yang terdepan.
Gambaran
di atas, secara eksplisit menjelaskan, bagaimana pendidikan menjadi elemen
terpenting yang harus dimiliki manusia. Karenanya, sebagai orang berpendidikan,
integrasi keilmuan sangatlah penting guna mewujudkan masyarakat yang
berpendidikan. Terlebih, bagi mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan
formal maupun non-formal. Tentu, ekspektasi tersebut merupakan sebuah tanggung
jawab yang harus kita manifestasikan.
Sebagai
akademisi, keberadaan Tridharma Perguruan Tinggi sejatinya menjadi pedoman bagi
mahasiswa dalam rangka mengejewantahkan keilmuan yang dimiliki. Atau dengan
kata lain, akademisi memiliki tanggung jawab untuk mentransfer pengetahuan
kepada masyarakat. Namun, nyatanya, tak
sedikit akademisi yang cenderung mengabaikan keberadaan dan peran Tridharma tersebut.
Padahal,
jika kita sandingkan, Tridharma tak ubahnya seperti pancasila dalam tataran
kenegaraan. Bagaimana pancasila menjadi sebuah identitas, landasan hukum atau
bahkan cita dan harapan Bangsa Indonesia. Pun demikian dengan Tridharma
Perguruan Tinggi. Bila kita resapi, nilai-nilai tridharma bukanlah hasil
penghayatan sehari semalam. Melainkan, nilai yang merefleksikan kredibilitas akademisi.
Secara
tidak langsung, Tridharma muncul guna mengakomodasi eksistensi para akademisi.
Di mana, lazimnya, akademisi kerap diidentikkan dengan jiwa kritis, idealis,
bahkan pragmatis. Dimana, dengan stigma tersebut, seharusnya para akademisi
mampu mengukur eksistensinya di tengah masyarakat.
Untuk
itu, bagi akademisi, memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai Tridharma
Perguruan Tinggi merupakan keniscayaan. Apalagi, secara historis, akademisi
dipandang sebagai Agent of Change.
Tentu, penyematan tersebut akan mengakar dan tumbuh menjadi identitas yang
menandakan seorang akademisi.