Serang- Banten, INSTITUT - Awal gerakan pemikiran dan kontribusi Sjafruddin Prawiranegara terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah usai dilaksanakan. Mandat sebagai ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini, diberikan Muhammad Hatta kepada Sjafruddin Prawinagera untuk menjaga stabilitas negara dan menjalankan roda pemerintahan sementara.
Begitulah perbincangan dalam Seminar Nasional yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) bertempat di Gedung Radar Banten, Minggu (8/7). Acara yang bertema “In Memoriam to Sjafruddin Prawiranegara” menghadirkan anak kandung Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Chalid Prawiranegara, Boni Triana (S\ejarawan Muda/Pemimpin Redaksi Historia Online), Najmuddin Busro (tokoh Banten), dan Mufti Ali, delegasi dari Kelembagaan Bantenologi yang sekaligus bertindak sebagai pembicara pada seminar tersebut.
Pada awal perbincangan itu, Lili Romli, Ketua Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) memoderati acara tersebut. Menurutnya, Sjafruddin Prawiranegara merupakan pejuang yang sangat luar biasa, bukan saja identitas dan pemikirannya, tapi juga etika dan prilakunya. ia menyayangkan di tanah kelahirannya sosok sjafruddin kurang begitu di kenal. Namun, di tingkat nasional dan internasional namanya begitu harum dikenang.
Selain itu, Najmuddin salah satu tokoh banten memaparkan, ketika Yogyakarta berada di tangan pemerintah kolonial belanda, pada tanggal 22 Desember 1948 Sjafruddin membentuk PDRI. Kala itu Belanda mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada, sedangkan pimpinan PDRI Sjafruddin menyatakan bahwa Indonesia masih ada, terlihat dari keberadaan PDRI yang masih tetap kokoh.
Dunia pun dikagetkan dengan pernyataan sjafruddin tersebut, namun hal itu terbilang percuma. karena, PBB sudah tidak mengakui keberadaan Indonesia sebagai sebuah Negara. Sebab, Indonesia dianggap sudah tidak memenuhi komponen sebagai sebuah Negara, seperti ketiadaan pemerintah, rakyat, dan wilayah. “Alhasil gelar Indonesia sebagai Negara pun lepas,” katanya.
Hal berbeda di ungkapkan Boni Triana, menurutnya jika Sjafruddin Prawiranegara dilihat dari aspek historis. Ia mengatakan, Sjafruddin hanya sebatas menjabat sebagai ketua PDRI, bukan sebagai presiden. “Karena secara prosedur hukum dan Negara, Sjafruddin tidak memenuhi,” ucapnya.
Ia menambahkan, aspek historis sangat perlu diperhatikan, selain sebagai sebuah fakta. Aspek historis juga terkadang membuat kita (rakyat indonesia) bingung untuk membuktikan kebenaran tersebut. “Dulu itu, banyak aspek historis yang bersifat politis. Jadi, kita harus pintar dalam memilah dan memilihnya.” ungkap Boni.
Syafrita Nurkhalika, salah satu peserta seminar dari Universitas Sultan Agung Tirtyasa (Untirta), merasa senang dan bangga dengan adanya seminar tentang sosok Sjafruddin Prawiranegara, menurutnya materi yang disajikan sesuai dengan mata kuliah Manajemen Perbankkan.
ia berharap, adanya seminar lanjutan dengan tema yang lebih bernuansa ekonomi islam, karena hal itu sangat membantu. “Mudah-mudahan lewat seminar ini, akan mampu mencetak ekonom handal yang kelak akan mampu memperbaiki permasalahan ekonomi global,” ucapnya. (Ayub)