Pemberdayaan untuk menjadikan kota yang bersih sebagaimana negara-negara berkembang lain, sepertinya tidak dapat terwujud di tanah air. Risaunya, bahwa sebagian besar disebabkan tidak adanya hubungan timbal balik antara manusia dan alam sekitarnya. Tempat sampah yang kurang ditanggulangi dengan baik dibagian lainnya menimpa beberapa daerah di Indonesia.
Sebut saja, tempat sampah di Cimanggis Tangerang Selatan. Pagi itu, Senin (25/11), sekitar jam 4 pagi sudah banyak petugas kebersihan daerah sekitar sedang mengangkut sampah serta membersihkan yang telah berserakan sejak siang kemarin. Nurul Khidayat merupakan kondektur dari salah satu truk untuk mengumpulkan sampah yang telah dikumpulkan. Namun, meski ia hanya sebagai kondektur, terkadang ia pun menjadi pengemudi truk. Ia tidak merengek meski harus hanya seorang kondektur.
Tempat itu selalu tidak enak dipandang dan bau yang dihasilkan pun begitu menyengat sampai 1 kilo meter. Padahal, pembersihan serta pengawasan itu dilakukan setiap hari. Sebenarnya hati yang paling kecil seorang kondektur ini menyayangkan ketika hal itu harus terjadi, apalagi petugas dalam menjalankan tugasnya hanya 5 jam saja setiap harinya.
Hampir 6 bulan petugas asal jawa ini bekerja sebagai orang yang mengembani pekerjaan yang mulia. Nurul bersama petugas lainnya hanya bermodal pakaian khusus dalam membersihkan serta memiliki rasa tidak jijik terhadap kotoran yang sering mereka temui. Setiap harinya, mereka membersihkan serakan sampah untuk ditimbun pada sebuah truk, setelah itu langsung diangkut ke pusat pembuangan sampah TPA Cipeucang Serpong –seperti pusat pengelolaan sampah di daerah Tangerang—.”Ada 3 amrol untuk mengangkut ke Cipeucang setiap harinya,” ungkap petugas yang baru saja memiliki anak berumur 5 bulan itu.
Sepertinya para petugas yang hanya dikira membersihkan kotoran sisa pasar dan orang yang teledor itu tidak hanya membersihkan sampah dekat lapak saung pasar kecil saja, melainkan di seberangnya yang merupakan tanah milik PT Rumah Toko (Ruko) yang segera dibangun pun turut dibersihkan. Tempat itu tak kalah banyaknya, banyak pula sampah anorganik yang susah untuk melebur menjadi tanah. Hal ini tentu menambah pekerjaan menjadi bertambah bagi petugas kebersihan.
Tempat itu hanya terlihat rapi ketika ada petugasnya saja, setelah itu akan terulang kembali sampai setiap harinya. Bau yang dihasilkan sampah tersebut tidak dapat hilang, sebab cairan yang mengalir dari sampah-sampah dan bekas pemandian mobil pengangkut ayam itu sukar untuk asat. Maka, lama-lama akan menimbulkan bau yang busuk. “Apalagi kalau cuaca hujan seperti ini,” ungkap kondenktur itu.
Pada tempat pembuangan sampah tersebut, tentu akan menghasilkan berbagai efek yang tidak diharapkan. Hal itu telah dirasakan oleh Narto seorang penjual Warung Kopi (Warkop) yang juga menjual nasi merasa sedikit terganggu dengan bau yang semerbak itu. Demi kenyamanan bersama, Bapak pemilik warung ini sesekali turut membantu petugas setiap minggu sekali. Ia sering melihat orang-orang yang membuang sampah itu setiap hari.
Dengan niat ibadah terkadang pedagang asal kuningan ini pun harus membereskan serakan yang setiap harinya terkadang mengenai pada sekitar warungnya. Asap yang setiap hari dibakar oleh sebagian petugas dari Ruko, sering mengepul di warungnya. Sehingga rasa kurang nyaman harus dirasakan Narto bersama kelurganya. Walau hanya seorang penunggu Warkop, semangat Narto dalam membantu untuk menjadikan tempat yang bersih telah ia lakukan 2 tahun lamanya.
Saat membersihkan sampah yang terkadang menghampiri rumah Narto, ia tidak hanya sendiri menghadapinya, melainkan ditemani oleh sang istri yang juga kerap menyumbangkan tenaganya untuk merapihkan atau terkadang harus menaikan sampah yang turun dari timbunan.
Warung yang diperkirakan hanya memiliki luas 2 kali 3 meter itu, harus Narto jaga dengan rapi. Sebab bagaimana pun juga, Narto bekerja hanya menjaga Warkop dan nasi itu bersama istrinya. Orang banyak yang berkunjung untuk melepaskan kepenatan dan memanjakan lelahnya untuk beristirahat di warung sederhana itu meski sangat dekat dengan tempat pembuangan sampah.
Untuk pembersihan tanpa pamrih Narto tidak tentu, ia hanya membarsihkan ketika benar-benar telah menggangu warungnya. Sampah yang dihasilkan oleh Ruko memang tidak sebau apa yang telah sampah dekat pasar itu dihamburkan. Tapi, tetap saja rasa tidak enak itu tetap dirasakan Narto. Hanya ia tidak banyak mengeluh ketika menghadapi tantangan hidupnya. Bagaimana pun penjual nasi dekat pembuangan sampah yang masih berdiri hinga saat ini adalah warung Narto. Jadi, Narto mengambil sisi positifnya ketika tidak ada pesaing Warkop
Tidak banyak harapan dari Narto, hanya ingin seluruh lapisan masyarakat selalu sadar akan kebersihan sekitar demi kenyamanan bersama. Dengan wajah yang lesu, Narto mengatakan tidak bisa berbuat lebih dalam menanggulangi masalah ini. “Ya kalau bisa masyarakat sadarlah, sebab biar tidak begini saja seterusnya,” Ungkap Narto seraya berharap besar. Senin, (26/11).
Hal serupa dinyatakan oleh Yusriani salah seorang pedagang barang domestik saat duduk di bangku tempat ia menunggu, sering melewati tempat pembuangan barang yang sudah tidak diindahi. Setiap kalinya, Yusriani harus menutup rapat-rapat hidungnya ketika melewati tempat pembuangan sampah dan menghirup aroma tak sedap itu. Menurut ibu kisaran umur 40 tahun ini, sering pula harus melewati jalur lain untuk menghindari tempat sampah yang menyebabkan aroma tidak sedap. Ia harus melalui jarak yang cukup jauh hanya untuk menghindari rasa mualnya ketika menghirup udara itu.
Untungnya ketika melewati tempat itu menggunakan kendaraan roda empat, jadi menurut Yusriani, udara menjadi tidak terlalu menghembuskan kehidungnya. Akuannya, meski telah ditutup dengan rapat, rasa tidak enak itu tetap terasa walaupun hanya sedikit. Yusriani memang tidak terlalu kuat ketika mencium bau-bau menyengat. Apalagi yang dibayangkannya adalah timbunan sampah dengan genangan air serta dipenuhi oleh bulu-bulu ayam.
Pembenaran mengenai pasar yang besar bagi Ciputat, kini tidak terlalu menjadikan sampah lebih porak poranda. Wanita itu membandingkan tempat penjual belian kecil –hanya beberapa saung— malah lebih tidak beraturan dan bahkan seolah dijadikan sebagai pusat pembuangan sampah. ia sangat berharap terhadap aparat untuk memerhatikan tempat sampah agar tidak terlalu menggangu warga sekitarnya serta masyarakat pun sadar ketika melihat kejadian seperti itu. Ia mengira bahwa untuk menjadikan tempat itu tidak berserakan dan juga tidak menggangu , ia memperkirakan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Yusriani menyangka, jika sebelum ia berdagang tidak separah sekarang yang dicampur dengan polusi. Menurutnya, pencemaran asap yang diakibatkan dari kendaraan roda dua ini sudah terlalu berlebihan. Apalagi ketika ditambah udara yang dihasilkan kotoran-kotoran yang terkadang banyak pula disebabkan dari orang yang selewengan bukan berasal dari Cimanggis.
(ABI)